Sungai Alas tampak dari Udara Credit:Davidagr.blogspot,com |
Lokasi : Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, Indonesia
Narasumber : Yakub Pagan
Tanggal : 20 Agustus 1982
Credit : Margaret J. Kartomi
Type : Soud Recording
Penulis Alur Cerita : Riduwan Philly
Tanggal : 09 September 2017
Genre : Mitologi, Sejarah
NB : Klik sekali iklan Adsensenya ya teman-teman, dengan mengklik iklan tersebut tandanya anda mendukung blog ini update setiap harinya. Yang pasti Gratis
Dendang Nusantara-
Menurut keterangan yang diberikan oleh Bapak Yakub Pagan yang mana
suaranya telah direkam dalam type recording pada tanggal 20 Agustus 1982
oleh Margaret J. Kartomi.
Dulunya,
jauh sebelum kedatangan masyarakat Alas ke Tanah Alas yang sekarang
wilayah tersebut termasuk kedalam wilayah administratif Kabupaten Aceh
Tenggara merupakan wilayah yang dipenuhi oleh air yang membentuk sebuah
danau yang luas menutupi hampir keseluruhan wilayah Aceh Tenggara dewasa
ini.
Lanjut
dari rekaman tersebut, Pak Yakub berkeyakinan bahwa masyarakat Tanah
Alas yang mendiami wilayah Aceh Tenggara dewasa ini berasal dari salah
satu wilayah di Aceh Selatan, ia meyakini berdasarkan cerita dari nenek
moyangnya nama wilayah tersebut adalah danau laot bangko.
Kalau
kita cari lebih dalam lagi di peta Indonesia danau laot bangko
merupakan danau dengan wilayah yang dikelilingi oleh pegunungan hutan
hujan tropis yang termasuk ke dalam wilayah administratif desa ujung
pandang, kecamatan Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan.
Konon,
dulunya di sekitaran danau ini berdiri kerajaan laut bangko yang sempat
mencapai puncak kejayaannya tempo dulu, dengan raja terakhirnya bernama
Raja Malinda dengan permaisurinya Rindi, sepeninggalan sang Raja
terakhir, kerajaan ini mengalami bencana banjir besar yang
menenggelamkan kerajaan ini (Bukhari Dkk, 2008:12).
Akibat
banjir bah besar yang melanda kerajaan laut bangko, membuat
masyarakatnya menyebar ke wilayah-wilayah sekitarnya seperti Tanoh Alas,
Singkil, Tanah Karo,Tanah Batak dan ada juga sebagian yang masih
bertahan di Bakongan dengan mencari dataran yang lebih tinggi lagi,
sehingga dipercayai sebab itulah yang menyebabkan adanya persamaan dan
kemiripan bahasa Alas, bahasa Kluwat,Bahasa Singkil, Bahasa Karo, dan
Bahasa Batak.
Senada
dengan folklore (Sejarah Lisan) yang berkembang di Bakongan, menurut
Pak Yakub Pagan, Danau Laot Bangko telah berdiri sebuah kerajaan yang
cukup jaya pada masanya dengan seorang raja dengan tujuh orang anak,
sang raja yang sudah berumur lanjut, mulai memikirkan siapa penerus yang
pantas untuk menggantikan dirinya sebagai raja, diapun meminta
anak-anaknya yang berjumlah tujuh orang tersebut agar bersabar menunggu
keputusan akhir darinya.
Keputusan
akhir telah dibuat oleh sang Raja, maka sang raja dengan segala
pertimbangannya menunjuk anak paling bungsu sebagai penerus takhta
kerajaan Laut Bangko, namun. konflik keluarga pun timbul akibat
penunjukkan yang diluar dari dugaan semua orang, sebagai mana lazimnya
pada zaman dahulu, biasanya yang menjadi penerus takhta seorang raja
yang berdaulat adalah putra mahkota atau anak paling tua dari seorang
permisuri yang diakui oleh kerjaan.
Akibat
penunjukkan tersebut, muncullah pembangkangan keenam orang anak raja
yang lainnya, mereka beranggapan si bungsu tidak lebih layak menjadi
seorang raja dari pada seekor anjing hitam yang mereka pelihara.
Akibat
kegadohan antar sesama keluarga kerajaan tersebut membuat datanglah
seorang Wali (makhluk gaib) dengan tujuan menghentikan pertikaian
keluarga tersebut, wali tersebut membawa sebuah tongkat yang ia
tancapkan kedalam dalam perut bumi, lalu dengan sigap sang wali mencabut
kembali tongkat tersebut, seketika muncullah air yang mengucur dengan
sangat derasnya keluar dari tempat tongkat ditancapkan oleh sang wali.
Air
yang mengalir dengan sangat deras tersebut telah menenggelamkan
keseluruhan kerajaan laot bangko dengan sekejap mata saja, yang
mengakibatkan sang raja tak mampu bertahan lagi dan hilang ditelan air
bah yang mengalir deras tanpa hentinya.
Berbeda
dengan sang raja, ketujuh anak raja berhasil menyelamatkan diri mereka
masing-masing dengan bantuan barang-barang yang mereka temukan disekitar
mereka, ada yang memegang papan bangko (menurut keterangan Pak Yakub,
papan bangko adalah alat untuk sandaran menenun), sebagian anak lainnya
memegang batang cibro, ada juga yang memegang batang kayu pine (Pinus),
sebagian lagi menggunakan papan Lagan/penggilingan cabe (Konon zaman itu
penggilingan cabe dalam ukuran yang besar), dan ada juga yang
menggunaka kayu medang.
Alat-alat
tersebut mereka gunakan untuk menyelamatkan diri dari air bah yang
melanda kerajaan mereka, akibatnya ketujuh anak raja tersebut terpencar
ke wilayah-wilayah yang berbeda-beda satu sama lain. ada yang ke Tanah
karo, Tanah Tapanuli, dan ada juga yang terdampar di wilayah yang
berbatasan dengan kabupaten Aceh Tenggara saat ini yakni lau baleng,
namun dari ketujuh anak tersebut belum ada satupun yang terdampar ke
Tanah Alas.
Setelah
beberapa tahun berlalu setelah pristiwa banjir bah itu terjadi
terdengar kabar, bahwa Tanah Alas yang dulunya merupakan sebuah danau
besar kini sudah mengering dan menjadi daratan yang sangat luas dan
datar.
Maka
dengan inisitif diri sendiri ketujuh orang anak raja laut bangko
tersebut menuju daratan baru yang kini kita kenal dengan sebutan Tanah
Alas, Pak Yakub Pagan meyakini bahwa, nama Tanah Alas sendiri berasal
dari bahasa Karo dari anak raja laut bangko yang sudah lama bermukim di
tanah karo, Alas sendiri berasal dari kata Ahh Las (Bahasa Karo yang
artinya aduh panas) berunjuk kepada cuaca Tanah Alas yang cenderung
lebih hangat daripada wilayah-wilayah karo yang lebih berhawa dingin
(seperti Tiga binanga, Bukit Gundaling, brastagi, kaban jahe, dan daerah
lainnya di dataran tinggi karo).
Namun
versi lainnya mengatakan, bahwa kata Alas berasal dari Bahasa Gayo yang
artinya adalah Tikar, berunjuk kepada wilayah Tanah Alas yang
wilayahnya cenderung membentang datar seperti tikar berbeda dengan
wilayah-wilayah dataran Tinggi Gayo yang cenderung bergunung-gunung dan
sangat sulit menemukan dataran yang rata di sana.
Akhirnya
ketujuh anak putra raja laut bangko tersebut berjumpa kembali di Tanah
Alas, dan membentuk klan-klan atau marga-marga yang berunjuk kepada alat
yang mereka gunakan untuk menyelamatkan diri dari air bah yang besar
tersebut, anak yang menggunakan Lagan sebagai sandarannya menerjang air
bah yang menghantam kerajaan laut bangko keturunannya dipanggil dewasa
ini dengan marga pagan, anak yang menggunakan papan bangko keturunan
selanjutnya disebut dengan marga bangko, anak yang memakai kayu cibro
keturunan selanjutnya disebut marga bruh, anak yang menggunakan kayu
pine dikenal dengan marga pinim dan anak yang menggunakan kayu medang,
keturunan selanjutnya dipanggil dengan marga sekedang.
Sumber :
- http://acehplanet.com/mengarungi-laut-bangko-di-bakongan/
- https://figshare.com/articles/Sumatra_61_Kutacane_Aceh/5064457